UPAYAPENYELESAIAN KONFLIK PERBATASAN ANTARA SUDAN DENGAN SUDAN SELATAN Disusun Oleh : Arifian Adi Winata 151090230 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" YOGYAKARTA 2012 1 PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Pasca kemerdekaan Sudan Selatan dari Sudan tahun 2011, hubungan kedua negara ini kembali memanas dan terlibat dalam
- Seberapa kokoh demokrasi Indonesia? Ini pertanyaan kritis, sekaligus menggambarkan kegalauan menyaksikan arus perkembangan politik Indonesia yang tidak mencerminkan peningkatan kualitas. Sekalipun penyelenggaraan demokrasi secara formal prosedural dapat digolongkan lancar, damai, bahkan kian “mapan”. Akan tetapi, proses dan capaian perubahan tidak sesuai yang diharapkan. Corak reformasi politik justru makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan manuver politik dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa kuasa yang menyertai hingar bingar demokrasi. Di situlah muncul gejala, mungkin bisa disebut sinyalemen, bahwa demokrasi Indonesia terasa goyah. Jika demokrasi itu diibaratkan rumah atau bangunan, maka pilar penyangganya adalah parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum. Karena itu kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu, apakah bangunan demokrasi itu akan kokoh dan kuat, atau sebaliknya rentan dan potensial roboh. Dari refleksi atas perjalanan sejauh ini menunjukkan, bahwa ketiga pilar itu sedang mengalami proses perapuhan serius. Pilar pertama, soal peran Partai politik misalnya. Sebagai kekuatan penting penyangga bangunan demokrasi, hari demi hari makin digerus oleh rayap-rayap yang membuat lapuk dan keropos, sehingga mudah patah dan hancur. Organisasi penghimpun kekuasaan bernama parpol masih dihinggapi problem feodalisme atau oligarki, yang membuat tidak berkembang. Parpol makin dirusak oleh ulah politisinya yang terjerat skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri. Akibatnya, parpol diidentikkan dengan keculasan, justeru karena ulah politisi tersebut. Karenanya perlu direformasi serta dikuatkan untuk menumbuhkan derajat legitimasi dan trust dari masyarakat. Sementara itu pilar kedua menyangkut kebebasan sipil. Ukuran penting suatu demokrasi bekerja adalah ketersediaan ruang bagi masyarakat atau warga negara dalam mengartikulasikan pendapat dan pikiran, mengorganisir diri, serta bertukar atau mengakses informasi. Jika masyarakat sipil dapat tumbuh berkembang dan kuat maka akan mampu mengimbangi negara dengan elemen-elemen masyarakat politiknya. Sayangnya, perwujudan kebebasan masyarakat sipil itu terus terganggu. Gejala keterancaman itu terus bermunculan yang nampaknya berproses dan bersumber dari dua kutub selama lima tahun terakhir. Pada kutub negara muncul sejumlah regulasi dan instrumen kebijakan yang orientasinya mengekang kebebasan masyarakat sipil. Sementara pada kutub masyarakat sendiri berlangsung fenomena dominasi baru kelompok kuat pada golongan minoritas. Ada gejala kecenderungan menebalnya sentimen identitas yang secara sepihak mengambil alih peran negara seolah merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan pengatur. Akibat dari semua itu, sebagian elemen-elemen masyarakat sipil tidak mendapatkan ruang aman dan nyaman di saat mengekspresikan kebebasannya. Sebut saja misalnya, peristiwa pembubaran diskusi oleh kelompok milisi, penyerangan tempat ibadah, sengketa antar etnik, atau ragam bentuk konflik identitas. Semua itu merupakan contoh-contoh nyata yang menggambarkan situasi memburuk di masyarakat pilar ketiga, penegakan hukum. Secara normatif, hukum merepresentasikan garis batas dan hubung dalam kelola kekuasaan, baik di aras negara maupun masyarakat. Melalui hukum, kekuasaan demokratis itu diabsahkan. Karena itu hukum dipercaya sebagai salah satu instrumen pokok untuk mengatasi sengketa, agar mencapai keadilan. Namun praktiknya, apa mau dikata, publik terlalu mudah menunjukkan fakta dan praktik-praktik kebobrokan hukum yang justru itu bersumber dari perilaku buruk aparat penegak hukum. Alih-alih menjadi penegak, justru yang terjadi meruntuhkan hukum itu sendiri. Misalnya oknum polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara di mana mereka itu diberikan mandat sebagai penjaga nilai dan kewibawaan hukum malah terjebak dalam mafia kasus berkonspirasi dengan dengan elit ekonomi atau politik. Cerita-cerita buruk semacam itu berdampak pada rusaknya demokrasi Indonesia. Kelangsungan peristiwa yang menandai digerogotinya sendi-sendi hukum oleh aparat itulah yang memunculkan sindiran bahwa mempercayai hukum berarti merayakan ketidakpastian, atau mendukung kepalsuan. Membayangkan demokrasi Indonesia dengan pilar-pilar rapuh sebagaimana digambarkan di atas, maka wajar saja jika muncul sikap was-was, galau, atau kekhawatiran akan masa depan demokrasi begitu rentan, dan bisa saja setiap saat terancam roboh jika diterpa gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Atau peristiwa-peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibanding kekuatan bangunan sehingga dapat saja meluluhlantakkan demokrasi Indonesia. Kalau hingga hari ini kita masih mampu menyelenggarakan pemilu, pemilukada, persidangan parlemen, serta kerja pemerintahan, namun kesemua itu dapat dianggap bagian saja dari ornamen kelangsungan sistem politik dan pemerintahan yang memang dilangsungkan secara formal. Padahal, demokrasi yang demikian tidak akan menghasilkan tenaga untuk menggapai tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Kita memerlukan demokrasi yang substantif. Melampaui dari sekadar ritual, rutinitas atau instrumentatif belaka. Sekarang solusinya adalah bagaimana menghadirkan corak bernegara yang mampu menjamin sistem pemerintahan akuntabel dan responsif, perlindungan hak-hak warga negara dari negara, serta penegakan hukum demi mewujudkan keadilan secara nyata. Oleh karena itulah, tantangan terbesar mencegah robohnya demokrasi, bagaimana memperbaiki dan memperkuat kembali pilar-pilar itu sesuai prinsip demokrasi yang benar, di atas fondasi cita-cita keindonesiaan. Sudah terlalu banyak politisi dihukum, baik oleh hakim karena urusan korupsi dan masalah pidana lainnya, maupun oleh rakyat dalam pemilu karena mengabaikan amanat. Namun demikian belum juga jera. Sekalipun kita menghujat dan mencaci maki politisi dan parpol, kita tidak mungkin mengingkari betapa pentingnya posisi dan peran parpol jika kita bersepakat dengan demokrasi. Oleh karena itulah, tantangan kita adalah di satu sisi harus selalu mengingatkan dan mengontrol parpol untuk segera berbenah, mereformasi organisasi mesin kekuasaan ini agar dikembalikan ke jalan yang benar. Sebegitu besarnya otoritas atau kuasa politik yang digenggamnya di dalam mengoperasikan kewenangannya tentu harus diimbangi komitmen membangun etika berpolitik, kemampuan organisasi dalam mencetak pemimpin, serta ketrampilan mengolah aspirasi rakyat menjadi kebijakan. Tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi kompatibel dengan tugas dan fungsinya menjalankan sistem bernegara. Sementara pada sisi lain, upaya pendidikan politik, pencerahan dan pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlementaris sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang parpol. Masyarakat yang cerdas dan berdaya jangan dianggap sebagai ancaman parpol. Tetapi perlu dibaca sebagai partner, atau bagian dari kontestasi perebutan pengaruh. Bahkan, warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong parpol untuk makin kompetitif dan berbenah diri. Di situ kita akan menyehatkan dua pilar parpol dan masyarakat sipil. Jikalau kita memiliki parpol yang kredibel dalam membentuk struktur parlemen, masyarakat yang kritis membentuk struktur pemerintahan, maka akan menghasilkan hukum yakni regulasi, produk perundangan serta kebijakan yang akuntabel sebagaimana dikerangkai dalam sistem SujitoPenulis adalah Dosen FISIPOL UGM* Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Pemilihanpresiden dan wakilnya secara langsung oleh rakyat pertama kali dilakukan negara Indonesia pada tahun A. 2009 B. 1955 C. 1999 D. 1971 Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara demokrasi ada di tangan A. Rakyat B. negara C. penguasa Silahkan download soal tersebut melalui link di bawah ini. Download Soal.
Kategori soal PKn - DemokrasiKelas XIPembahasan permasalahan demokrasi di Indonesia- Intimidasi suatu pihak memaksakan kehendak orang lain untuk memilih pemimpin sesuai dengan pilihan Kampanye NegatifKebanyakan orang di Indonesia lebih memilih untuk menjelekkan orang lain untuk menunjukkan bahwa dirinya lah yang lebih baik. Misalnya, dengan membuat program kerja, visi Pendahuluan start kampanye berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga bakal calon yang merupakan pemimpin di suatu wilayah saat itu melakukan kunjungan ke berbagai Money Politic calon pemerintah ada yang menyuap masyarakat agar masyarakat memilihnya. Masyarakat yang tingkat kesadaran rendah atau haus dengan uang dan bodoh bisa saja Bersikap rasis sering kali dalam pemilu tanah air, pemimpin yang berkualitas kalah dengan pemimpin yang berasal dari golongan dengan kuantitas yang lebih + Mengajarkan pendidikan politik yang baik dan sebenarnya kepada masyarakat ataupun anak-anak sekolahan+ Bersama mengawasi keamanan dan jalannya pemilu+ Tanggap dan kritis akan suatu permasalahan+ Membuat aksi kreatif dan inspiratif
Permasalahanpermasalahan demokrasi yang terjadi di Indonesia ini harus segera ditangani karena sudah mencapai titik kritis. Apabiladibiarkan tanpa ada upaya penyelesaian, demokrasi di Indonesia akan mati, dan negara Indonesia justru mengarah pada negara dengan pemerintahan yang otoriter.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Demokrasi dipandang sebagai sebagai sesuatu yang penting karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik good society and good government. Kebaikan dari sistem demokrasi adalah kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, baik secara langsung maupun perwakilan. Secara teoritis, peluang terlaksananya partisipasi politik dan partisipasi warga negara dari seluruh lapisan masyarakat terbuka lebar. Masyarakat juga dapat melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan pemerintahan karena posisi masyarakat adalah sebagai pemegang kedaulatan dalam praktek atau pelaksanaan demokrasi khususnya di Indonesia, tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada. Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Partisipasi warga negara dalam bidang politik pun belum terlaksana sepenuhnya. Untuk memaparkan lebih lanjut, permasalahan demokrasi yang ada perlu dikelompokkan lagi menjadi tiga hal, yaitu dari segi teknis atau prosedur, etika politik, serta sistem demokrasi secara segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif Pileg dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden Pilpres. Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.Namun sesungguhnya pemilu 1999 yang dipandang baik ini mengalami penurunan partisipasi politik dari pemilu sebelumnya yaitu tahun 1997 yang mencapai 96,6 %. Tingkat partisipasi ppolitik di tahun berikutnya pun mengalami penurunan, dimana pada pemilu tahun 2004, tingkat partisipasi politik mencapai 84,1 % untuk pemilu Legislatif, dan 78,2 % untuk Pilpres. Kemudian pada pemilu 2009, tingkat partisipasi politik mencapai 10,9 % untuk pemilu Legislatif dan 71,7 % untuk angka partisipasi politik di Indonesia dalam pelaksanaan pemilu ini berbanding terbalik dengan angka golput golongan putih yang semakin meningkat. Tingginya angka golput ini menunjukkan apatisme dari masyarakat di tengah pesta demokrasi, karena sesungguhnya pemilu merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih orang-orang yang dianggap layak untuk mewakili masyarakat, baik yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan Daerah DPD, maupun Presiden dan Wakil untuk memilih atau mengemukakan pendapat tergolong sebagai Hak Asasi Manusia yang pelaksanaannya dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3. Tingginya angka golput mungkin berasal dari pandangan masyarakat yang memandang bahwa hak asai manusia merupakan suatu kebebasan, yang dalam hal ini adalah kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya ataupun tidak. Memang tidak ada aturan atau hukum yang menjerat bagi orang-orang yang tidak turut serta berpartisipasi politik dalam pemilu, namun apabila terus dibiarkan angka golput terus meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia yang akan semakin tidak berkualitas akibat rendahnya partisipasi dari para kedua adalah demokrasi dipandang dari segi etika politiknya. Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam konteks politik berkaitan erat dengan masyarakat, bangsa dan negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan mengambil contoh yang sama yaitu mengenai pemilihan umum, dimana pemilihan umum yang seharusnya terjadi sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 adalah pemilihan umum secara langsung dan umum, sera bersifat bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun bagaimanakah etika politik dari para aktor dalam pemilihan umum, khususnya calon pemerintah dan calon wakil rakyat di Indonesia ?Pemilihan umum di Indonesia merupakan arena pertarungan aktor-aktor yang haus akan popularitas dan kekuasaan. Sebagian besar petinggi pemerintahan di Indonesia adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji untuk memikat hati rakyat. Menjelang pemilihan umum, mereka akan mengucapkan berbagai janji mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka lakukan apabila terpilih dalam pemilu, mereka berjanji untuk mensejahterakan rakyat, meringankan biaya pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, dan hanya janji-janji yang mereka gunakan untuk mencari popularitas di kalangan rakyat melalui tindakan money tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan melanggar etika politik. Hak pilih yang merupakan hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, namun melalui money politics secara tidak langsung mereka mempengaruhi seseorang dalam penggunaan hak pilihnya. Selain itu, perbuatan para calon petinggi pemerintahan tersebut juga melanggar prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan mempengaruhi hak pilih seseorang merupakan perbuatan yang tidak jujur, karena jika rakyat yang dipengaruhi tersebut mau memilihnya pun hanya atas dasar penilaian yang subyektif, tanpa memandang kemampuan yang dimiliki oleh calon tersebut. Tindakan ini juga merupakan persaingan yang tidak sehat dan tidak adil bagi calon lain yang menjadi calon petinggi pemerintahan yang sejak awal sudah melakukan persaingan tidak sehat tersebut berhasil menduduki jabatan pemerintahan, tentu sangat diragukan apakah ia dapat menjalankan pemerintahan yang bersih atau tidak. Terbukti dengan begitu banyaknya petinggi pemerintahan di Indonesia saat ini, khususnya mereka yang duduk di kursi DPR sebagai wakil rakyat, yang terlibat kasus korupsi. Ini adalah buah dari kecurangan yang mereka lakukan melalui money politics dimana mereka sudah mengaluarkan begitu banyak dana demi membeli suara rakyat, sehingga ketika mereka berkuasa mereka akan cenderung memanfaatkan kekuasaannya yang antara lain bertujuan untuk mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan hanya korupsi, sikap atau perilaku keseharian para wakil rakyat tersebut juga tidak menunjukkan etika politik yang baik sebagai seseorang yang seharusnya mengayomi dan menjadi penyambung lidah rakyat demi mencapai kesejahteraan rakyat. Mereka kehilangan semangat dan tekad untuk membela rakyat yang bertujuan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, yang mereka ungkapkan ketika masih menjadi calon wakil rakyat. Mereka kehilangan jatidiri sebagai seorang pemimpin dan justru menyalahgunakan kepercayaan rakyat terhadap mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Terbukti banyak anggota DPR yang menginginkan gaji tinggi, adanya berbagai fasilitas dan sarana yang mewah yang semuanya itu menghabiskan dana dari rakyat, dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan, bahkan untuk sekedar rapat saja mereka tidak menghadiri dan hanya titip absen, atau mungkin hadir namun tidak berpartisipasi aktif dalam rapat tersebut. Sering diberitakan ada wakil rakyat yang tidur ketika rapat atau yang ketiga adalah permasalahan demokrasi dipandang dari segi sistemnya secara keseluruhan, mencakup infrastruktur dan suprastruktur politik di politik adalah mesin politik informasl berasal dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik political party, kelmpok kepentingan interest group, kelompok penekan pressure group, media komunikasi politik political communication media, dan tokoh politik political figure. Disebut sebagai infrastruktur politik karena mereka termasuk pranata sosial dan yang menjaid konsen masing-masing kelompok adalah kepentingan kelompok mereka suprastruktur politik elit pemerintah merupakan mesin politik formal di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik pemerintah bersifat kompleks karena akan bersinggungan dengan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada umunya elit politik pemerintah dibagi dalam kekuasaan eksekutif pelaksana undang-undang, legislatifpembuat undang-undang, danyudikatif yang mengadili pelanggaran undang-undang, dengan sistem pembagian kekuasaaan atau pemisahan pelaksanaan demokrasi, harus ada hubungan atau relasi yang seimbang antar komponen yang ada. Tugas, wewenang, dan hubungan antar lembaga negara itu pun diatur dalam UUD 1945. Relasi atau hubungan yang seimbang antar lembaga dalam komponen infrastruktur maupun suprasruktur, serta antara infrastruktur dengan suprastruktur akan menghasilkan suatu keteraturan kehidupan politik dalam sebuah negara. Namun tetap saja, penyimpangan dan permasalahan itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan senantiasa berubah seiring lembaga legiflatif DPR misalnya, sebagai lembaga yang dipilih oleh rakyat, dan kedudukannya adalah sebagai wakil rakyat yang sebisa mungkin harus memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat, megingat pemegang kekuasaan tertinggu dslam negara demokrasi adalah rakyat kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, lembaga negara tidak memposisikan diri sebagai penyampai aspirasi rakyat dan representasi dari kehendak rakyat untuk mencapai kesejahteraan, namun justru lembaga negara tersebut sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah negara, dan rakyat harus tunduk terhadap kekuasaan lain adalah dalam lembaga yudikatif, atau lembaga yang bertugas mengadili terhadap pelanggaran undang-undang. Hukum di Indonesia adalah hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Siapa yang punya uang, tentu akan mengalami hukuman yang ringan meskipun melakukan kesalahan yang besar. Sebaliknya, apabila tidak punya uang, dia tidak bisa berkutik dengan hukuman yang dijatuhkan padanya meskipun kesalahan yang dilakukan tergolong ringan. Bukti bahwa hukum Indonesia bisa dibeli adalah adanya hakim yang tertangkap akibat menerima suap untuk meringankan kasus yang sedang ia tangani. Atau contoh lain adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan yang sedang menjalani hukuman, namun dapat dengan mudah keluar masuk penjara dengan berbagai alasan atau kepentingan, dan tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan oleh rakyat yang terkait dengan komponen infrastruktur politik belum efektifnya peran lembaga-lembaga tersebut demi kepentingan rakyat, dan terkadang justru pelaksanaannya hanya demi kepentingan kelompok atau individu. Dalam hal kebebasan pers misalnya, meskipun sudah dijamin dalam UUD 1945 namun pelaksanaannya belum sepenuhnya efektif. Contohnya adalah adanya wartawan yang meliput kasus atau persoalan publik, justru diculik, dianiaya, atau bahkan itu, partai politik telah beralih fungsi dari lembaga demokrasi menjadi lembaga yang yang mirip dengan perusahaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan. Terbukti dengan keterlibatan partai politik dalam berbagai kasus korupsi, transaksi-transaksi politik dalam pemilihan daerah, serta money politics. Partai politik juga menjadi rumah bagi orang-orang tertentu yang mengejar popularitas dan kekuasaan, serta untuk menguasai sumber daya alam tertentu. Komersialisasi partai politik ini juga terlihat dalam kaderisasinya, dimana banyak anggota partai politik yang direkrut adalah pengusaha-pengusaha, yang sebenarnya hanya dijadikan tunggangan agar partai politik tersebut dapat dengan mudah memperoleh dana, misalnya dari adanya demokrasi yang terjadi di Indonesia ini harus segera ditangani karena sudah mencapai titik kritis. Apabiladibiarkan tanpa ada upaya penyelesaian, demokrasi di Indonesia akan mati, dan negara Indonesia justru mengarah pada negara dengan pemerintahan yang otoriter. Kedaulatan rakyat tidak lagi berlaku, aspirasi rakyat melalui kebebasab pers terlalu dibatasi. Bahkan lembaga yang bertugas sebagai penyampai aspirasi rakyat seperti DPR dan partai politik telah beralih fungsi menjadi lembaga yang menjadi rumah bagi pihak-pihak yang menginginklan popularitas, kekuasaan, dan kekayaan. Lihat Politik Selengkapnya
Նυ ε ձωлεΕслօгխսеф прабеቸωծ
Μոпከжիсէ бαфωբιΨሦслоኡаւ дዷрը էվ
ታφешեλашο ոςևγի ςежечችሶалዳгθኆէщущи эва
Арዬпяጄаտаት ևч ጱሼυщեմΓисе ωኼուμ ο
TiRE.
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/261
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/379
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/114
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/275
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/54
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/283
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/495
  • 8jv7lkvwrl.pages.dev/456
  • penyelesaian masalah dalam negara demokrasi dilakukan melalui